Rabu, 11 Januari 2017

STORY DI SMK PERINTIS

KISAH DI SMK PERINTIS

Jam menunjukan pukul 07.00. Seorang gadis muda tampak berlari-lari dari arah barat. Hampir saja ia terjatuh ketika tersandung sebuah batu kecil. Ia terus berlari walau ia tahu bahwa jalanan licin karena hujan semalam. Hingga tiba ia di sebuah tikungan sempit dalam gang dan ia terpeleset, alhasil kali ini ia jatuh dengan sukses. Namun tak menunggu waktu lama, ia segera bangkit, membersihkan rok panjangnya sebentar dan berlari kembali. Sampai juga ia di tempat yang dituju, sekolah.
“Pak Yanto..! tunggu sebentar! Jangan ditutup dulu gerbangnya.” katanya dengan wajah panik saat melihat pak yanto  satpam sekolahnya menutup gerbang depan.
“Oh, kamu Wen, sudah berapa kali kamu terlambat minggu ini, hah?! Sebenarnya aku enggan mengijinkan anak yang terlambat walau hanya satu menit untuk masuk. Tapi kali ini kau ku bolehkan masuk dan ingat, tak ada toleransi lagi lain kali.” pak satpam yang terkenal galak tapi baik  itu membuka gerbang kembali dan mengijinkan gadis itu masuk.
“Terimakasih banyak pak!” teriak gadis itu kegirangan sambil berlari masuk kelas. Sekilas Weni melirik Tomy, teman main Volinya yang menawan. Weni Lie Qian Hariyanto  merupakan nama lengkap dari Weni, gadis yang sekarang duduk di kelas XI Akuntansi SMK Perintis Adiluhur. Ia anak pertama dari tiga bersaudara, semua adiknya laki-laki. Ia tinggi kurus berkulit sawo matang dengan potongan rambut pendek lurus hampir seperti anak lelaki. Sudah beberapa hari ini ia datang terlambat ke sekolah, entah apa sebabnya.
Hidup Weni mungkin bisa dibilang tak begitu menyenangkan seperti teman-teman sebayanya. Saat SMP, kedua orangtuanya bercerai, ayahnya meninggalkan mereka tanpa uang sepeser pun. Ibunya memutuskan untuk pindah ke kota lain dan memulai hidup baru walaupun sederhana. Di sekolah, Weni bergabung dengan tim voli, olahraga favoritenya yang telah ditekuni semenjak SD kelas empat.
“Hai Weni, enggak terlambat lagi? tanya Devi, teman sekelas sekaligus sesama tim voli SMK dengan nada bercanda.
Weni hanya menjawab dengan senyuman. Ia segera mengeluarkan buku matematika, pelajaran pertama hari itu. Bu Nurjumiah guru Matematika mereka terlihat masuk kelas.
“Ulangan minggu kemarin sudah Ibu periksa dan akan Ibu bagikan hasilnya sekarang, selamat Weni kamu satu-satunya yang mendapat nilai sempurna, seratus.” kata Bu' Nur mengawali pertemuan hari itu.
Sebagian anak bertepuk tangan untuk weni. Ada yang menatap iri padanya. Ada pula yang melongo tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang anak miskin yang selalu datang terlambat dan bau keringat bisa mendapat nilai matematika terbaik di kelas. Begitu pikir sebagian anak. Sementara sisa anggota kelas yang lain tidak peduli apa yang terjadi. Sementara Weni hanya tersenyum garing. Ada sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya. Tapi hanya ia pendam dalam hati.
Sepulang sekolah seperti biasa ia bermain voli di lapangan voli yang ada di halaman sekolahnya. Ia bermain bersama tim voli sekolahnya dimana ia dipercaya sebagai kapten. Walaupun tidak ada jadwal latihan, ia selalu menyempatkan diri untuk bermain voli walaupun hanya seorang diri.
“Aku pulang dulu teman-teman, dah.” pamit Weni saat latihan selesai.
“Oh ayolah Weni, baru jam 03.00 sore, duduk-duduk dulu sama kita sini.” ajak salah seorang teman kepada Weni.
“Maaf aku tidak bisa, aku harus pulang sekarang.” tolaknya
“Boleh aku antar pulang?” tiba-tiba Tomy menyela pembicaraan.
“Oh wow!” weni kaget dan tak percaya tapi ia segera menolak.
“Eh maaf, aku bisa pulang sendiri kok, rumahku deket.”
“Ya udah kalau gitu,” jawab tomy.
Hari selanjutnya Weni tidak masuk sekolah. Tidak ada kabar sama sekali, hingga datang sebuah pesan singkat ke handphone Devi bahwa ibu Weni telah meninggal dunia. Satu kelas kaget dan pulang sekolah mereka melayat ke rumah weni untuk memberi ucapan belasungkawa. Namun tak seperti yang mereka duga, Weni sama sekali tak menampakan kesedihan. Ia tampak tegar dan bahkan tidak menangis.
Esoknya, saat ia sedang berjalan ke lapangan voli, seorang anak perempuan dengan sengaja menyilangkan kaki di depan Weni hingga ia terjatuh.
“Ups, maaf sengaja.” katanya tanpa merasa bersalah sama sekali.
“Hei, apa maksudmu!” dengan muka marah Weni bangkit menghampiri gadis yang bernama Rita tersebut.
“Hei kamu, anak yatim miskin, item, jelek dekil dan bau kambing mulai sekarang nggak usah deketin Tomy lagi. Tomy itu calon pacar gue tahu!” Rita menyerang Weni dengan kata-katanya.
“Tomy itu temen aku, masalah buat loooe!” jawab Weni santai.
“Heh anak bau, pergi sana, kamu nyebelin banget tau nggak si.” Rita menghardik Weni.
Weni tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia langsung pergi, namun bukan ke lapangan voli seperti tujuan awalnya tadi. Ia berlari ke bawah pohon mangga yang teduh dan sepi yang ada di pinggir halaman sekolah. Dan diam-diam ia meneteskan air mata. Yap, Weni si tegar, ia menangis.
“Ya Tuhan, kenapa. Kenapa semua ini terjadi? Kenapa kau ambil segalanya dari hidupku! Kau bawa pergi ayahku, Kau ambil ibuku dan semua kebahagianku!” secara tak sadar Weni mulai berteriak dan mengeluarkan segala unek-uneknya karena memang tak akan ada yang mendengar.
“Kenapa semua orang bisa hidup tenang dan bermimpi, sementara aku? Bahkan tak ada satu pun orang yang mau mendengarku. Tak ada yang mau mendengar! Tak seorang pun bisa memberi jawaban. Aku bahkan tak punya teman.”
“Aku mau kok ndengerin kamu.” tiba-tiba suara lain muncul dari belakang.
“Devi, kamu lagi ngapain disini?” kata Weni kaget saat melihat Devi tiba-tiba muncul.
“Sebenernya tadi aku lihat kamu sama Rita di jalan, lalu aku ngikutin kamu sampai sini. Jangan anggap kamu nggak punya sahabat. Aku disini mau kok ndengerin semua curhat kamu.”
“Devi…” Weni tertegun sejenak lalu memeluk Devi sambil menangis lagi.
“Dev, aku enggak setegar yang kamu lihat selama ini. Selama ini aku itu palsu. Aku cuma menjalani peran dari status yang terlanjur dilabelin ke diri aku. Aku anak pertama dari tiga bersaudara, aku enggak mungkin nangis saat ibu meninggal, aku pengin ngajarin adik-adik aku buat tegar. Hidup itu keras. Setelah ayah pergi, aku harus nyari uang buat biaya hidup keluarga aku. Aku sama sekali nggak punya waktu buat main nggak jelas. Aku datang terlambat dan penuh keringat karena aku harus lari dari rumah setelah belajar dan ngerjain PR dari jam tiga pagi. Cuma itu waktu aku buat belajar, selebihnya aku rela jadi buruh cuci dan juga aku sibuk ngerawat ibu aku yang sakit-sakitan. Aku belajar keras karena aku nggak mau nyia-nyiain uang yang keluar untuk sekolah. Voli itu cuma pelarian dari semuanya. Voli itu sahabat aku satu-satunya yang bener-bener bikin aku bahagia. Aku capek Dev, aku capek.” panjang lebar Weni menjelaskan semuanya.
“Aku emang nggak bisa selalu ada di samping kamu Wen. Tapi aku harap kamu bisa lebih terbuka sama aku, sahabat kamu, percayalah kamu itu enggak sendiri. Kamu punya banyak temen di luar sana, kamu hanya perlu untuk membuka mata dan hatimu untuk melihat semuanya lebih jelas. Memang tidak semua hal berjalan seperti yang kita harapkan, tapi yang pasti semuanya akan baik-baik saja. Ikhlaskan saja jalani semuanya walaupun aku nggak bisa ngrasain apa yang kamu rasain tapi aku bakal terus support kamu, biar kamu kuat. Teruslah pegang mimpi kamu. Kamu bakal sukses kalau kamu yakin.” Devi berucap panjang untuk mendukung Weni.
Semua baik-baik saja. Mereka berdua pun pulang dengan tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ingin Tanggapan ulang, silahkan kasih koment ya ...